Perjalanan Lara

Pelayanan 10 Desember 2015 20:39:04 WIB

Jogja, 28 Oktober 2014

Woh Kudhu. Gemericik gelombang surutnya menjadi manik-manik sebuah pantai yang masih perawan. Tebing karang, pasir putih, semua .... belum terjamah banyak orang, hanya pengerendet. Yaitu, nelayan darat si pencari lobster yang menaruh nyawa di pipi tebing demi tiga lembar uang Sukarno-Hatta.  Keperawanan Woh Kudhu ... karena akses menuju pantai ini memang belum di buka. Menjadikanku sujud syukur atas apa yang diberikan ... setelah menyusur Menteni, Gesing, Buron, Segoro Lanang, Nguluran, Panekan, Kepek dan  Nungguran. Melewati tebing terjal di atas pantai yang sempat membuat nyali  ciut. Apalagi terpaan angin  kencang dan menggoyang tubuh ... andai terjatuh .... jasad yang terdiri dari lima elemen ini mungkin akan hancur di hempas gelombang membentur batu karang.

Senja merambat.

Beberapa sendawa yang tersisa dari habitat oleh tangan-tangan angkara, mencicit, menukik, dalam menyambar serangga terbang .... mungkin ratusan. Sangat menambah  ke indahan setiap ros langit Woh Kudhu. Apa lagi air surutnya mem’bisa’kan orang menyusur dasar pantai sampai hampir ratusan meter. Untuk sekedar mengenali beberapa rumput liar dasar laut, terumbu karang dan ikan yang terjebak di telagan-telagan.  Lalu bersembunyi ketika melihat bayang dipermukaan telagan.

Usal, keong, berpegang erat di batu karang. Apalagi krungken, menanti air pasang untuk dijadikan kendaraan meneruskan perjalanan dalam mempertahankan diri dari jeruji tajam yang ditusukkan oleh pencari lobster, sebagai umpan untuk pemenuhan kebutuhan anak isteri di rumah.

            Setelah sujud syukur atas keselamatan itu, sehingga aku dapat duduk merenung ... di antara bongkahan batu karang, di bawah karya tangan iseng seniman yang peduli dengan Woh Kudhu, dan menuliskan “WOH KUDHU” di atas sebilah papan jati. Ditancapkan pada lobang karang ... Kekaburan  senja dan dingin telah merayap, menjadikan atis semburat gelap dalam tahap berikut.

            Win,

            Ketika pilihanmu untuk memutus, setelah lontaran lamaran dari pria pilihan keduamu kamu terima, itu semua cukup membuat pukulan dalam dada. Jujur, aku kecewa! Tapi ... sepenuhnya aku sadar ... sesetia apapun janji seseorang ketika belum di ikat dalam sebuah mahligai ... akan selalu  terancam putus. Dan ... itu kamu lakukan padaku. Hingga dua bulan ini, aku terdampar di tepian-tepian ombak. Di tebing-tebing pantai, untuk sekedar mencari pelipur lara, sambil membandingkan kebesaran Illahi. ... alam ini, menyadarkanku, setelah merenung di Woh Kudhu, kalau wanita tidak hanya kamu! Walaupun sungguh, berat untuk menerima putusan  darimu!

            Harapan indah dari jalinan persahabatan yang telah di rajut selama dua tahun, .... tentu itu bukan waktu  pendek untuk mempertahankan rasa istimewa. Di tengah ribuan wanita, di antara ratusan cewek yang memperhatikan, di antara beberapa gadis dengan secara terang-terangan menyatakan cinta ... padahal dua diantaranya lebih cantik dari kamu! .... aku memilih mempertahankan rasa itu, karena bagiku, cinta ... bukan masalah cantik, kaya atau apa.  Tapi rasa dalam hati ini, meski percobaan kesetiaan  selalu ada, aku berhasil mepertahankannya. Cinta ini,  tetap untukmu!

Tapi di luar dugaan ... kamu memutuskannya!

            Sungguh, Win! aku sakit hati! Rasa membara, kebencian, dendam ... menjadi hantu dan mengerubungi setiap kerat hati, lalu menggelapkan cara pandang tentang  menerima garis pesthi Illahi.

            Aku hampir tidak bisa.

            Setelah dua bulan, seluruh perjalanan lara selama  itu, ketika di Woh Kudhu, banyak hal aku lihat, aku temui, aku nikmati ...

            Keagungan alam,

            Kekukuhan alam,

            Kekuatan alam,

            Kesetiaan alam,

            Dan siklus alam.

            Alam mampu menampung dan mendaur ulang seluruh peristiwa yang menimpa. Dari sesuatu yang bahaya menjadi jinak. Laksana badai,  teredam pohon dan gunung. Banjir bandang membawa jutaan material, tapi setelah sampai di samudra menjadi reda sehingga dapat dimanfaatkan. Ikan di laut cukup mendapat makanan, garamnya kembali dimanfaatkan manusia! Bahkan luapan gunung api ... setelah menimbulkan kerusakan, akan ada kebaikan dan manfaat. Jutaan meter kubik pasir tersedia untuk membangun gedung-gedung. Abu yang tersembur menjadikan lahan semakin subur. Dedaun satu dengan yang lain saling menetralkan, bahkan mungkin ... jasad manusia sekarang bisa jadi sumber tambang minyak fosil bagi generasi berikut.  

Itulah alam.

            Setelah melewati perjalanan lara, di balik putusan itu, ada sesuatu yang indah dan barokah. Akupun menyadari andai memaksa untuk terus mempertahankan cinta, mungkin justru  akan berakibat tidak baik. Tapi untuk menyadari sepenuhnya, saat ini memang masih sulit.

            Bayangmu, setiap gerak dari dirimu, dan apa yang pernah terjadi, masih jelas terbayang. Terlebih putusan itu .... Surutnya gelombang Woh Kudhu tidak mampu menenggelamkan kenagan yang ada. Padahal tadi, setelah merambah di 60 meter arah laut, banyak sudah rumput laut jenis agar-agar, bergayutan mengikuti arah gelombang. Menyembul saat surut, tenggelam saat pasang ... dan itu menjadi rizki bagi nelayan yang kreatif memanfaatkan sumber daya alam. Lalu di tangan perajin dan pedagang akan menjadi bahan gel agar-agar, atau es rumput laut yang harganya bisa selangit.

 ... saat harapan dari sebuah cinta kasih, puncaknya adalah kesetiaan yang kujanjikan dan tekad untuk mengkhiri masa lajang ... kamu memutus cinta tanpa alasan yang dapat aku mengerti.

Bak petir di tengah malam, saat hujan lebat dan banjir mulai mengalir, putusan itu datang. Menjebolkan seluruh pertahanan hati ... hancur berkeping-keping, tanpa tersisa ... secuilpun dari mili hati yang dapat ditempati harapan .... Tapi ... kesadaran akan wanita lain, tujuan hidup, hak, kewajiban, tanggung jawab, telah berhasil menguatkan hati untuk tabah melakoni lara.

Perjalanan lara yang berakhir di Woh Kudhu, atau berawal di Woh Kudhu ini, harapan untuk menemukan cinta ternyata masih seluas samudera, kalau di antara wanita yang tidak aku perhatikan, ada seorang wanita telah menunggu. Seorang gadis berwajah sayu!

Setelah kamu, Win,  Isti telah mengharap. Dari tepi rumah setiap pagi, dari lesung dan senyum yang selalu diberikan sambil menyapu halaman sebelum  berangkat kuliah, dari kecewa wajahnya yang tertangkap ekor mata karena aku hanya acuh ... Ya, semua karena kamu Win ... semua harapan Isti kandas.

Tapi tanpamu kini, andai Isti masih tersenyum dengan lesung yang menghiasi pipi, andai harap sayunya masih untukku, atau kesetiaan menyapu halaman rumah masih dilakukan ...  tanpa ragu, aku akan menggayutnya untuk melang-lang mayapada.

Jika Isti tidak keberatan, aku akan mengajak menapaki jalan yang pernah kita lalui, mengenang keindahan, di setiap detil kejadiannya ... tentu dengan cara Isti, dengan seenjoynya Isti. Tapi bila dia keberatan, kami akan membuat, melewati dan menggores kenangan baru, tentu ini sah-sah saja, kan?

Tanpamu, Win! aku harus terus melangkah, menyusur di seluruh tebing pantai untuk bisa sampai di suatu tempat di mana aku akan menyandarkan, menumpah dan mengobati lara.

Ya, berawal dari Woh Kudhu!    

Komentar atas Perjalanan Lara

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar