Cinta Terlarang

Pelayanan 10 Desember 2015 19:48:36 WIB

Angin siang terasa gerah meski  telah berteduh di bawah rerindangan pohon bilibis. Atau .. tidak! Sebenarnya udara sangat sejuk. Hanya saja … mungkin sebab kecapean karena cucian  dua hari ini cukup banyak. Maklum dedek  tiap malam ngompolnya minta ampun. Ah … di telaga Tho-et ini semua berawal  … dan akankah berakhir? Kalau benar Ardi akan datang … mungkin nanti untuk mengajak membicarakan … sesuatu yang menurut Eni sudah tidak perlu. Tapi biar .. Eni nggak mau memusingkannya. Yang terbaik sekarang adalah menjaga diri. Tidak salah untuk kedua kali dan menjaga Putri walau tanpa seorang ayah. Ya .. Eni harus rela dan tega  Putri lahir hanya dari seorang ibu.

Rombongan ikan  di telaga mulai mengambang  tapi sangat sulit untuk dipancing  atau sudah menjadi mitos bahwa bulan mancing di telaga Tho-et ini di bulan September? Disaat  air mulai mengurang? Kalau bulan itu .. wuih! Telaga penuh sesak oleh para pemancing! Mereka pada dapat banyak! Sampai diceritakan dalam sebulan ada warga yang bisa beli sapi dari hasil memancing selama bulan September.

Tak heran di bulan itu banyak warung tiban bertengger di tepian telaga, ikut berebut rejeki dengan menjajakan aneka minuman, rokok, nasi bahkan bakso. Dan orang-orang sering menyebut telaga Tho-et adalah Telaga Wisata Tiban.

Dan disinilah Eni bertemu Ardi.

Hingga derita panjang menimpa … kehamilan diluar nikah, cinta  tidak direstui dan kelahiran anak tanpa seorang ayah … lalu membawa Eni kabur dari rumah karena malu. Hampir empat tahun Eni pergi Ke Sumatera yang  tidak seorangpun tahu. Terseok-seok seorang diri untuk sekedar mencari pelipur lara. Tapi ….semua tidak didapat.  Yang ditemui hanya derita. Terlebih setelah kelahiran Putri, dia harus mengurus semuanya sendiri. Tapi untung ada pak Sugeng yang mau menampung, merawat dan membesarkan Putri. Tapi akan bertahan sampai kapan? Lalu banyak nasehat dari pak Sugeng yang dapat  mengembalikan kepercayaan diri. Sehingga  Eni memutuskan untuk kembali ke Jawa, ke tengah keluarga dan memulai hidup baru,  harapan baru dan tentu tantangan baru.

Kata pak Sugeng, tidak ada hidup manusia yang sempurna. Bahkan  Adampun pernah melakukan dosa dengan melanggar larangan Allah. Tapi Allah menerima taubat Adam setelah Adam memohon ampun, mengakui kesalahan, berjanji tidak akan mengulang  dan sanggup dibuang ke bumi sebagai penjaranya.  Kalau orang sudah melanggar had, jangan mengulangi kesalahan yang sama atau melakukan kesalahan lain akibat kesalahan pertama. Seperti aborsi atau justrus ‘melanggengkan ke-had-an.’

Dan banyak nasehat hingga  sampai saat ini mengumandang dalam hati dan memotifasi untuk berbuat lebih baik. Apapun kesalalahan yang pernah dilakukan akan dijadikan cambuk agar lebih hati-hati dalam menjaga diri, menjaga pergaulan lalu meningkatkan diri untuk urusan menembah jati.

Ketakutan  keluarga akan menolak dirinya tidak terbukti. Orang tua Eni justru lebih bersikap dewasa. Tidak merestuinya orang tua Eni karena dipandang Eni waktu itu salah mencintai ‘orang’ dan Eni baru sadar setelah semuanya terjadi.  Lalu mendapat penjelasan dari pak Sugeng bahwa kita mencintai pada siapa itu ada aturannya. Tidak asal perempuan suka pada laki-laki. Tidak sembarang cinta lalu boleh nikah. Semua diatur karena dunia merupakan penjara. Kalau manusia tidak mentaati aturannya penjara yang terjadi justru sebaliknya yaitu manusia tidak akan pernah luput dari ‘penjara’ Dan ini dipilh Eni. Ya! Eni akan ‘memenjara diri’ selama di dunia dengan harapan ada sebuah ‘fase’ hidup untuk dirinya agar bisa ‘hidup’ di luar penjara.

Kebebasan cara pandang, bergaul, bahkan gaya hidup telah diambil dan hasilnya .. derita. Maka untuk ini Eni bertekad ..

“Kau?!!? Ardi?”

Eni buru-buru meletakkan ember cucian, lalu membetulkan posisi kerudung yang terasa kurang nyaman. Ah! … beberapa kenangan  muncul bergantian, manis dan pahit, mengoyak sebuah tekad yang selama ini telah dibangun,

“Sudah lama?”

Ardi masih terbengong dengan wajah ayu didepannnya. Dandanan Eni jauh berbeda dari empat tahun lalu. Dimana Eni suka pakaian ketat, potongan punk dengan sedikit semir-semir,

“Ya. Aku nggak percaya kamu bisa berubah seperti ini,” Ardi angkat bahu. Seolah mencibiri atas usaha mertaubat Eni,

“Ada apa kamu kesini?” kata Eni agak ketus, protes atas gaya Ardi,

“Aku ingin mengajakmu menikah.”

“Menikah? Gila kamu!”

“Kenapa? Salahkah aku mengajakmu menikah? Sementara Putri adalah darah dagingku?”

Luka menganga  terkoyak kembali dan itu dibiarkan agar bisa  merasakan perihnya. Biar luka itu selalu ada sehingga  dapat belajar tentang sebuah kepahaman, bahwa tidak ada yang namanya anak diluar nikah, sebutan anak hanya terjadi setelah nikah, nasab hubungan had adalah putus dan  tidak dapat dipaksakan untuk  bisa sambung.

Ya … itu kini yang dipahami Eni. Kalau antara dia dan Ardi tidak boleh menikah selamanya karena telah melanggar had.  Dan itu telah dipilih Eni.

“Ar, kesini,” ajak Eni pelan sambil beringsut memberi tempat kosong untuk Ardi, untuk duduk didekatnya,

“Jangankan kamu Ar, aku yang memilih jalan inipun kecewa,” lanjutnya setelah Ardi duduk

“Maksud kamu?”

Mereka saling padang … sekian lama.

“Maksud kedatanganmu untuk apa?”

“Aku akan bertanggung jawab atas perbuatan yang pernah aku lakukan padamu.”

“Maksudmu?”

“Aku akan menikahi kamu …!” Ardi ..,

“Kenapa kau En, kelihatannya kamu tidak suka?”

Eni hanya menatap lurus pada hamparan telaga. Dedaun belibis merontok setelah angin berlalu agak kencang, mengibarkan pada pandangan  … saat tangan bergayut mesra …  Memang  akan sangat sulit menjelaskan hal semacam ini. Tapi … apapun nanti tanggapannya  Eni harus menjelaskan.

“Ar, aku senang kamu datang. Kamu berniat baik untuk menikahiku. Tapi …. Terlambat  Ar. Ada banyak hal yang berubah dan belum kamu pahami.”

“Maksud kamu apa En?”

“Ar, kita telah melanggar had. Dan itu  menghalangi kita untuk dapat menikah.”

“Kamu ngoco En!”

“Ar!” pekik Eni masih sabar,

“Apapun alasanmu, aku tidak mau menikah dengan kamu!”

“Gila kamu En! Lalu Putri? apakah kamu mau membesarkannya tanpa seorang ayah? Bagaimana kalau Putri dewasa? Apakah dia tidak malu kalau hanya lahir dari seorang ibu?”

“Ar, aku tahu ini sangat rumit untuk dipahami, makanya tolong dengarkan dulu ..”

“Baik.”

“Kamu datang untuk menikahi aku kan?”

“Ya.”

“Itu tidak boleh Ar, karena kita telah melanggar had!”

“Siapa yang tidak memperbolehkan?”

“Aturan.”

“Aturan siapa?”

“Islam Ar! Agama kita! Dulu .. akupun sangat sulit menerima ini. Tapi tolong renungkan … apakah kita pernah menikah?”

“Belum.”

“Sementara kita sudah berhubungan badan. Itu namanya apa?”

“Ya … berzina.”

“Lalu misalnya  kita nikah .. dimana bedanya antara zina dengan nikah?”

“Sebelum nikah kita zina  setelah nikah berarti tidak.”

Eni tersenyum

“Itu yang selama ini kita salah … Ar, tidak ada pahala sodakoh dari barang curian. Dan kita telah mencuri hubungan itu sehinga kita dilarang untuk menikah. Kalau kamu belum bisa memahami nggak pa-pa.  Yang jelas … aku tidak mau menikah denganmu, bukan karena aku tidak cinta. Aku ingin kesalahanku hanya sekali itu. Aku ingin memperbaiki diri .. soal Putri .. itu menjadi resikoku. Aku akan terima aib ini. Tapi tidak untuk Putri.”

“En ..,”

“Ya Ar, .. sampai saatnya nanti aku akan ceritakan semua rahasia ini, agar Putri tidak melakukan kesalahan  yang sama. Biar kelak  kewalian Putri menjadi lurus, sehingga kesalahan akibat ‘salah gaul’ kita tidak menular pada Putri. Kita yang harus mempertanggungjawabkannya, karena itu dosa kita.”

“En, lalu aku harus bagaimana?”

“Kalau kamu mau, bertaubatlah. Soal Putri, dia putus nasab dengan kamu. Kamu tidak perlu memikirkannya …. aku  akan merawatnya. Terima kasih kamu telah datang,”

Angin semakin silir berhembus. Meski masih tersisa perih yang harus dibawa pulang, bahkan dibawa selama melangkah, mencari jati diri untuk kembali kepangkuan Illahi.

“En! Tunggu En!,” Ardi memegang tangan Eni,

“Aku mencintaimu En, beri kesempatan padaku untuk memperbaiki diri,”

“Ar,” Eni melepas tangan dengan pelan agar Ardi tidak salah sangka,

“Kamu tidak melakukan kesalahan apapun padaku. Kita, kita Ar, yang melanggar aturan agama. Kita telah melakukan dosa besar. Cara agar kesalahan itu tidak selamanya salah ya dengan kita tidak menikah. Dengan begitu kita hanya melakukan satu kesalahan  saja. Tidak berkelanjutan,”

“Kenapa begitu En?”

“Itulah akibat kita tidak belajar agama. Kita buta, tidak tahu apa-apa.”

“Tolong En, aku cinta kamu, aku ingin bertanggung jawab …,”

“Ardi ..,” potong Eni lembut,

“Aku tahu. Akupun cinta kamu. Dan terima kasih dengan niat baik kamu. Tapi sekali lagi, …itulah ketololan yang kita lakukan … dan ternyata justru menghalangi kita untuk bersatu …. Ar, demi cinta kita jangan ajak aku untuk menikah dengan kamu ..”

“Kenapa En?”

“Karena aku memilih untuk tidak.”

“Iya tapi kenapa En?”

“Ardi …, pulanglah! Nanti atau kapanpun kamu boleh datang ke rumah untuk membicarakan hal ini. Sekarang,  disini, semua sudah cukup. Nggak enak didengar orang lain,” Eni mendorong Ardi dengan sangat pelan,

“Aku  tunggu kamu di rumah,  orang tuaku sangat terbuka untuk kamu ….,”

Lalu, Eni meninggalkan Ardi yang  terbengong di bawah rerindangan pohon belibis.

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar