Saat Kusadari

Pelayanan 08 Desember 2015 20:16:17 WIB

                Angin kencang, langit  pekat.  Hujan bagai dituang dari langit. Membuat bulu kuduk merinding. Tubuhku menggigil meski sudah diselumuti jaket. … aku segera berteduh,  kubiarkan Prima berhujan ria. Asal  batukku dapat berkurang. Tak peduli tempat kotor atau basah  tubuh, aku meringkuk dipojok pos kamling. Persis seperti tikus  kecebur comberan. Biar.

Angin bertiup lagi. Kini semakin kencang. Membawa ratusan liter air, atap berukuran 3x4  tidak mampu menghalangi  tumpahan air. … Ah! Menyesal   tidak nuruti nasehat Abi. Dirumahnya  ada tungku hangat yang dapat meredam batuk. Atau secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh. Atau … aku hanya  mengandai.

            Dan … bunda! Pasti beliau sangat kawatir. Apalagi bunda tahu kalau batuk ini belum reda. Mana obatnya lupa lagi! Bunda .. jangan cemas. Linda tidak apa-apa, hanya kedinginan. Tapi … lalu aku berdiri. Bertekat untuk menerobos derasnya hujan. Aku rela terkapar setelahnya dari  mencemaskan bunda sedemikian rupa.

            Niat  aku urungkan sebab samar terdengar  motor BSA Abi disela-sela  tik tok  hujan  menghujam seng. Sebentar saja BSA  sudah berada disamping Prima. Abi tersenyum setelah melepas helm,

            “Sudah lama disini?” katanya sambil sibuk mengambil bungkusan,

            “Ini aku bawakan mantol. Tadi bunda kamu telefon.  … aku katakan kamu sudah pulang. .. tapi kamu belum sampai. Maka bunda memintaku  untuk mencari.”

            Aku hanya tersenyum kecut.

            “Bunda mengkhawatirkan batukmu. Kondisimu,” Abi menatap. … perahatian Abi dapat di bilang lebih. Tapi aku tidak berani mengatakan kalau Abi suka. Abi pujaan para gadis, tentu banyak yang mengharap. Dan … Abi baik kepada semua gadis,

            “Kamu mau nekat pulang dengan  batuk menggigil seperti itu?”

            “Sebaiknya aku bagaimana?”

            “Ya … terserah kamu. Kerumah oke, mau pulang .. aku siap mengantar.”

            Senyumku tidak kecut lagi. Wajah Abi .. kunikmati  untuk menghangatkan hati.

            “Atau … mau nunggu hujan reda juga nggak apa-apa,” lanjut Abi.

             Beberapa petir menggelegar. Menyiutkan nyali untuk nekat pulang,

            “Nunggu hujan reda saja, ya?”

            “Boleh. Kuat dalam kondisi seperti ini?”

            “Kalaupun aku pingsan toh ada kamu?” ledekku.

            “Kalau aku biarkan saja?”

            “Terserah kamu,” balasku berlagak cuek. Aku kembali ke pojok pos setelah menerima mantol. Meringkuk menahan dingin. Lalu Abi duduk tak jauh  .. geli juga melihat dia menguap terus,

            “Kurang tidur?”

            “Iya. .. semalam hanya tidur dua jam.”

            “Mikir apa?”

            Abi merapatkan kaki. Setelah sedekap, kepalanya diletakan di atas tangan. Mata indahnya telah sembab,

            “Masa depan.” Jawabnya seperti bergumam.

            “Kenapa harus kamu pusingkan?  Itu kan udah didepan mata. Mau melanjurtkan kuliah sampai S2, kamu juara, biaya ada. Bahkan orang tua kamu sudah menyiapkan sebuah perusahaan.”

            Mata itu masih nanar karena kantuk,

            “Bukan aku tidak bersyukur. Tapi …”

            “Tapi apa coba …?”

            Abi mengernyit, cukup lama. Dan meneliti pias wajahku. Dingin mulai hadir digeraham  … ada sesuatu yang ingin diperlihatkan? Apa …

            “Aku dijodohkan …”

            Dan batukku kian menggigil mendengarnya,

            “Kamu? Di jaman kayak gini?”  Tak sabar aku  ingin dengar jawabnya. Tapi Abi malah diam. Cepat kusadari cemas ini. Aku sadar kalau Abi adalah Abi, cowok yang sangat peka dengan perubahan. Baik wajah, mimik ataupun sikap,

            “Tentu gadis itu sangat cantik, dari keluarga  kaya?”

            “Ya.”

            Abi mengangkat kepala dan menatap, lalu memberi hembusan hangat diwajah … menghadirkan ...oh tidak! Aku tidak boleh hanyut dalam suasana  ini. Kugigit hati kuat-kuat agar tidak …

            “Sebenarnya aku tidak menyukainya. Apalagi cinta. Tapi aku  sadar kalau tidak bisa lepas dari keluarga. Terutama mama, aku tidak mau mengecewakan. Meski aku tidak suka, aku berusaha untuk bisa mencintai.  Niatku untuk membahagiakan mama,”

            Abi diam. Aku meneruskan dalam hati kalau Abi tidak bisa.

            “Aku bisa Lin.”

            Hanya gigilan batuk jawab atas semua. Aku sangat kecewa. Selama ini Abilah harapanku. Kini tidak ada gairah  untuk berlama-lama ditempat ini.

            “Tapi gadis itu tidak  mengerti perasaanku sedikitpun. Aku dituntut untuk selalu menuruti permintaanya. Aku bosan dengan kepura-puraan itu. … aku  berusaha untuk bertahan. Aku tidak bisa. Dan …  kukatakan pada  papa, mama juga gadis itu. Awalnya mereka kecewa .. … Toh akhirnya mereka dapat menerima  setelah dia dapat pacar baru.”

            Waoh! Aku baru lega setelah tersiksa sekian lama.

            “Lin,”

Aku tersenyum janggal dengan debaran jantung yang aduhai.

            “Kira-kira lama nggak ya hujannya?”

            Ya .. Abi .. kok  hujan yang kamu tanyakan,

            “Ya nggak tahu. Ada apa?”

            “Aku ngantuk.”

            “Tidur aja, nanti aku bangunin.”

            “Nggak ah! Malu!”

            “Sudahlah … aku janji nggak aka mengolok.”

            Semenit saja Abi sudah tidur dengan bantalan mantol, aku heran, kok bisa-bisanya. Mungkin karena biasa. Dia sering mendaki, menyusur goa  kemping.  Tidak hanya sehari dua hari. Kalau  Abi mau dia betah bertualang  dua minggu. Photo-photo tualang  sudah menumpuk segudang.

            Apa yang sebenarya  dicari? Kebanggaan diri? Sekedar wah? Bahagia?

Sementara banyak orang mengirikan keadaannya.  Abi sangat bahagia, terlahir dalam keadaan sempurna. Ganteng, pandai, kaya, harmonis lagi. …Tapi ternyata Abi tidak merasa bahagia dengan semuanya. Jadi benar kata kakek dulu, kalau bahagia itu dihati, kaya juga dihati. Manusia hanya wang sinawang.  Sak dermo nglakoni. … lalu berapa orang yang bisa sak dermo?

            Hujan makin gila, angin menggila dan petirpun menggila.. seperti diriku yang merasa gila dengan keadaan.  Menyesal mengapa  tidak dilahirkan dikeluarga seperti Abi.  Tidak secantik gadis model. Atau  tidak seberuntung teman-teman lain. Mengapa  teramat susah untuk makan kenyang tiga kali sehari? Semuanya! Dan ..  membuat rasa syukurku berkurang,  membuat putus asa semakin menggerogoti jiwa!

            Aku …?!

            “Lin, ada apa?”

            Terkejut  tak mungkin kusembunyikan, Abi telah menangkapnya,

            “Kamu mikir terlalu serius, apa yang kamu pikir?”

            “Aku iri denganmu.”

            “Iri?”

            “Ya,” batuk kian membuat megap-megap,

            “Kamu hidup enak. Bisa apa aja. Apa yang kamu inginkan tinggal mengatakan … dan …ada.”

            Abi bangun,

            ”Kamu pikir aku tidak iri dengan dirimu?”

            “Lucu. Masak?” dalihku tersinggung. Jelas Abi sangat meremehkan.

            “Kesederhanaanmu. Aku iri.”

            Ah! Bagaimana sebenarnya hidup ini?

            “Kamu tidak merasa bahagia dengan keadaanmu?”

            “Aku lebih bahagia begini.”

            Abi? Kamu hanya menggodaku, pangeran? Atau aku yang terlalu GeeR. Mungkin!

            “Duduk berdua, menikmati hujan …,”

            “Kamu bisa melakukan kapan saja.”

            “Tidak Lin. Tidak setiap keinginan itu terpenuhi. Sudah lama aku menginginkan saat seperti ini. Tapi … baru sekarang             aku bisa, … duduk berdua dengan kamu,”

            Benarkah Abi?

            “Kamu tidak mudah mengeluh, enak diajak bicara, bisa mengerti oramg lain. Aku suka.”

            Abi? hanya itu yang kamu suka dariku?

            “Aku juga suka duduk berdua denganmu.” Dan  hah? Apa yang  aku ucap? Padahal tadi aku  meneluh. Aku …

            “Terima kasih, Lin. Kamu cewek yang paling mengerti aku.”

            Tentu Abi. Aku akan selalu memahamimu, memperhatikan dan selalu ingin dekat. Karena aku mencintaimu, Abi.

            “Lin,  aku ingin memberi sesuatu?”

            Eh?! apa pula ini?

            “Kapan aku pernah menolak pemberianmu?” dan hati kecut mengakuinya.

            “Pejamkan mata sejenak.”

            “Nggak ah! Aku nggak mau kamu tinggal seperti dulu.”

            “Hei, aku tidak akan mengulangnya. Kan aku sudah minta maaf?  Lagian .. aku tidak suka menggigil dihujan itu.”

            “Sungguh?”

            “Iya!” jawab Abi mantap. Aku tahu kali ini dia tidak menggoda, mata itu, aku tahu.

            “Baiklah,” dan aku memejamkan mata dengan setengah hati. Deg-degan dengan hal  tiba-tiba ini.

 Abi, dengarkan ratapanku …. Sedingin itukah kamu?

            “Buka matamu, ini kusus untukmu,”

            Adelweis? lambang cinta sejati itu? Abi, mengapa  kamu berikan padaku?

            Saat kusadari , jemariku telah digenggamnya. Terasa hangat. Menyebarkan getar-getar yang sekian lama kunanti.

 Ya,  perlakuan sayang dari seorang Abi.

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar