Gadis Peramal

Pelayanan 08 Desember 2015 19:45:17 WIB

Nanin resah. Sebentar-sebentar membolak-balik kartu  didepannya, ia merasa kalah. Ah …! Bagaimana  memberi jawaban pada Sari? Reputasinya  terancam jatuh. Bukan karena ramalannya jelek. Tapi Nanin sama sekali tidak bisa meramal. Semua serba gelap. Ataukah Teja punya sesuatu sehingga tabir masa depannya tidak dapat diintip? … rasanya tidak! Sepuluh tahun Nanin mempelajari  … sampai saat ini tidak ada masalah. Tapi sekarang?  Dan hati kecilnya harus mengakui kalau kemampuannya  masih dibawah Teja? Kok?

Sedangkan Yono, asisten guru besar perguruan tenaga dalam saja mampu dijajagi. Buktinya,  tahun lalu Sari meminta untuk meramalkan nasib asisten itu, sampai gambaran jumlah murid. Ramalan Nanin  tidak meleset jauh.  Sekarang? Lagi-lagi Nanin belum percaya dengan kenyataan ini.

Sekali lagi, Nanin mengulang. Kali ini tidak tanggung-tanggung. Kalau kemarin menggunakan kemampuan tingkat  sembilan,  sekarang seluruh kemampuan akan digunakan untuk menyingkap tabir  yang  menyelimuti Teja. Walaupun Nanin tahu akibatnya. Ya .. kalau Nanin tidak dapat menguasai diri maka ilmunya akan balik menyerang. Dan … ada kemungkinan organ dalamnya akan rusak. … tapi itu dipilih Nanin untuk menjajagi Teja.

Setelah persiapan ubo rampe dilakukan, Nanin mulai bermeditasi.

Sudah setengah jam Nanin bermeditasi. Tapi tidak menemukan apapun. Semua serba gelap … siapa sebenarnya Teja? Nanin ingin mengulang, tapi ada langkah halus mendekat,

“Nin! Nanin?!”

Nanin membuka mata setelah menutup upacara,

“Ada apa, mam?”

“Boleh mama masuk?”

“Sebentar mam, pintunya aku kunci,” diambilnya kunci yang tergeletak di meja rias. Nanin membuka..

“Teman kamu ada yang datang, tapi mama belum kenal dia. Katanya teman sekolah kamu.”

“Sari, ya ma?”

“Mana ada cowok namanya Sari.”

Nanin mengernyit, cowok? Lantas siapa kalau mama belum kenal?

“Sebaiknya kamu temui dia,” katanya,

”Mama akan siapkan minum untuk kalian.”

Nanin begegas ke ruang tamu,  rambutnya tergerai lepas menutupi puggung, indah! Terlebih ada penghias lesung dikedua pipi. Pemanis kala tersenyum. Ditunjang kemampuan supra natural, membuat Nanin semakin dikagumi dan disegani.

Begitu  sampai di ruang tamu … dadanya berdesir hebat sekali, terasa nyeri. Dan sebentar saja Nanin bisa menguasai diri. Nanin terkejut sekali waktu tahu yang datang adalah Teja,

“Kau ..?”

Teja tersenyum. Bangkit dan memberi hormat, kaku sekali.

“Silahkan duduk,” lanjut Nanin. Ada sesuatu dalam tubuh yang ..

“Ehm … ada apa Nin?” Teja gugup melihat Nanin  tiba -tiba berkeringat dingin.

“Kamu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?” Nanin masih kesakitan. Giliran Teja  kebingungan,

“Maksud kamu?”

“Kenapa ini kamu lakukan kepadaku? Kamu kejam Tej,” kata Nanin duduk melemah merasakan dada  mau pecah. Bahkan ada darah  mengalir di mulut.

“Kau ..?”  Teja tercengang dan nggak habis pikir. Teja merasa bersalah, tapi apa pasalnya? Teja duduk di kursi, masih keheranan.

Sementara  Nanin semakin mengerahkan kemampuan, justru dadanya semakin sakit. Dia ..

“Biarkan dia!”

“Nanin cuma pingsan. Nanti pasti baik kembali,”

“Ma’afkan aku, bu. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Kedatanganku hanya nganter surat ini. Tapi mengapa  bisa seperti itu sementara saya ada disini?”

“Kamu sungguh tidak tahu?”  ia sambil mengambil  gelas  yang  tadi dibawa, mengajak  minum. Teja  mengangguk,

”Maksud ibu?”

“Masih tidak tahukah kamu dengan apa yang terjadi?”

“Sungguh bu, kenapa…?”

“Baiklah, saya percaya.”

Wanita menghampiri Nanin, mengusap sisa darah, kemudian membetulkan letak kepala,

“Ilmu yang kamu miliki  adalah ilmu langka. Tidak sembarang orang mampu mempelajari dan membawa.  Itu adalah ilmu amanat. Sejajar  ilmunya para wali,” wanita itu bersimpuh dengan hormat, seperti seorang hamba,

“Ma’afkan sikap anak saya. Nanin terlalu lancang untuk menjajagi ilmu nak Teja,”  ia member hormat.

Kini jelas baginya. Tapi soal ilmu langka? Teja nggak merasa punya.

“Ma’af nak, boleh saya tahu siapa gurumu?”

Teja hanya mendesah. Dan keheningan tercipta sekian lama … suara detikan jam malam itu memenuhi ruang tamu yang tiba-tiba kaku,

“Kalau nama guru itu merupakan rahasia, ibu nggak akan memaksa. Bagiku ..”

Wanita itu ragu untuk melanjutkan.

“Ma’afkan, aku bu,” Teja menjura seperti wanita tadi. Mendekat ke Nanin, prihatin dengan keadaan Nanin. Tiba-tiba …

Nanin bangkit dan menyerang. Pukulan mengarah ulu hati. Belum sempat pukulan  mengenai sasaran, Teja telah berkelit ke kanan dengan tangan kanan menyambut tangan penyerangnya. Begitu tangan bersentuhan, mereka membisu seperti patung. Nanin berusaha melepas cengkeraman, tapi nggak bisa. Tenaganya  tersedot dan cengkeraman itu semakin  kencang, bak lilitan ular.

Wanita yang menyaksikan  bingung sekali. Dia tidak menduga anak gadisnya akan nekad. Dia tahu betul kemampuan dua orang didepannya. Nanin bukan apa-apa bagi Teja. Wanita itu tidak ingin terjadi sesuatu, secepatnya ia ingin menyadarkan Nanin .. dia bergerak tapi membentur  dinding kaca. Dia mengulang .. dan seperti tadi. Wanita itu terhalang dinding kaca! Diulang sekali lagi, tapi masih saja dinding itu menghalangi.

Dia pasrah. Tidak tahu harus berbuat apa.

Nanin hampir kehabisan tenaga, tapi memaksa untuk melawan dan tiga detik kemudian Nanin  kehabisan tenaga … ia terkulai. Perlahan Teja sadar, dia mengucap Astaqfirullah tiga kali, lepaslah tangan yang membelit. Dan Nanin bener-bener terkulai di lantai.

“Nanin !”pekiknya sambil menghambur memeluk, tangisnya tumpah.

Teja  terpaku. Tidak tahu  harus berbuat apa, ia diam. Kejadian itu diluar kesadarannya. Teja mendekat,

“Maafkan aku bu, semoga Nanin nggak apa-apa.” Wanita mendongak,

“Nanin pingsan lagi.”

“Tolong bantu ibu mengangkat ke kamar,”

“Biar saya yang mengangkat,” belum sempat Teja mengangkat, Nanin menggeliat sadar

“Nanin?”

“Haus …”

“Minta minun mam.”

“Biar saya yang ngambil, ia tergopoh lupa kalau didekatnya ada dua, Teja yang ingat gelas itu langsung mengambil dan meminumkan untuk Nanin,

“Minumlah, Nin.”

“Maafkan aku, Nin,”

Nanin diam dan menjaga hati agar tidak sakit. Ia harus menerima kenyataan kalau ilmu Teja jauh diatasnya. Tapi benarkah Teja tidak tahu apa yang terjadi? Lalu Teja punya apa pula, dia punya kecepatan  tinggi untuk menghentikan pukulannya. Nanin berusaha berdiri, tapi sakitnya minta ampun, Teja mendekat dan memapahnya ke kursi.

Ada semarak getar indah … wangi sampo Teja jelas tercium … pantas kalau Sari jatuh hati. Ingat Sari … Nanin sedih sekali. Dia akan jawab apa? Dia  dikenal sebagai peramal ulung tidak bisa memberi jawaban pada Sari? Kalau bukan Sari, ini tidak masalah .. Nanin  punya banyak cerita untuk menutupi kekurangan. Tapi dengan Sari? sahabat akrabnya?  Untuk berterus terang? Huh … itu butuh keberanian!

“Tej,” Nanin meneguk,

“Boleh aku tanya sesuatu?”

“Silahkan, ada apa?”

“Benarkah kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?”

“Kalau mamamu tidak cerita, aku tidak  tahu,”

Ada terkejut di wajah Nanin … dan itu dibiarkan … lalu hening.

“Nin,  kedatanganku  nganter surat undangan ini. Tapi tiba-tiba terjadi …” Teja beringsut membetulkan letak duduk,

“Ehm … mamamu tadi kemana? Katanya mau ngambil minum untuk kamu … kok?”

Nanin malah tersenyum,

“Disini ada minum … maklum saking gugupnya barangkali.”

Wanita yang sudah kembali itu tersenyum ..

“Maklum … kamu nggak apa-apa Nin?” Wanita itu duduk disamping Nanin, memeriksa pergelangan tangan, ada  bekas jari-jari Teja!

Teja resah melirik jam tangan, pukul 20.14! ia terlalu lama di rumah Nanin, biasanya hanya to de  point, lalu pulang.

“Ibu harap nak Teja tidak pulang dulu. Kami punya wedang jahe istimewa, tinggal manasin sebentar … Tunggu ya nak?”

“Iya Tej, kamu kan tamu istimewa kami, beri kesempatan pada kami untuk menghormatimu,”

“Iya deh.”

“Nah gitu dong.”

Hening, sepeinggal wanita itu.

“Tej,” Nanin ragu, Teja menatap. Ganteng kamu Tej,

“Kamu sudah punya pacar?” Nanin kaget sendiri dengan uncapanya, merasa telah melakukan ketololan yang luar biasa.

“Kamu, bisa aja,”

“Sari mencintaimu.”

Teja mendesah,  sebenarnya  sudah tahu kalau Sari suka. Ia sering menangkap isyarat cinta itu.

“Maaf Tej, Sari memintaku untuk meramal kisah cintanya .. Tapi begitulah jadinya,” Nanin memaksa mendekati  jendela, membuka dan … merasakan semilir angin malam. Ia mendesah.

Di luar mobil masih berseliweran.

“Aku tahu itu Nin. Tapi aku harus bagaimana? Untuk sekarang … aku berkonsentrasi pada sekolah.” Nanin manggut-manggut,

“Boleh  tanya satu hal lagi?” Nanin tak ingin suasana ini berlalu terlalu lama, ia melangkah dan …

“Ahk ..!” Nanin kembali terkulai, buru-buru Teja memapah,

“Jangan memaksa Nin, kamu masih sakit, istirahat dulu,”

“Di kursi ini saja,”

“Maukah kamu aku angkat jadi kakakku?”

“Maksudmu?”

“Ya … karena aku sebatang kara.. aku ingin ..”

“Kamu tidak punya keluarga? Ibu itu?”

“Panjang ceritanya …,” dua tetes air mata jatuh,

“Aku ditemukan di kolong jembatan kota ini. Wanita itu membelinya dari seseorang …. Aku tidak tahu siapa orang tua dan keluargaku  … wanita itu yang membesarkan aku.”

“Baiklah, aku tidak keberatan.”

“Terima kasih kak, sekarang Nanin tidak sebatang kara lagi!”

Teja terenyum, … ah …tidak ada ruginya menyenangkan hati orang,

“Kak, aku punya sesuatu untukmu.”

“Oh ya?”

“Kamu pasti suka!”

“Apa dulu dong?”

“Eh … sun dulu kening adikmu.” Nanin memejamkan mata, Teja terpaku,

“Maaf Nin, aku enggak bisa melakukan itu.  Aku … ,”

Nanin malah menghambur dengan sisa tenaga, memeluk  dan menumpahkan semua cerita yang pernah dialami.

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar