MEMILIH SETIA

Pelayanan 08 Desember 2015 19:17:43 WIB

Terik menyengat tidak menggoyah semangat. Basuki terus mencangkul, sementara penggarap sawah lain sudah pada pulang. Biar! pokoknya petak harus selesai  siang ini. Nanti sore sudah persiapan ke  Pencak Malioboro Festival, bapak tadi mengingatkan. Makanya ia terus mencangkul meski sudah adzan dzuhur.

Keringat  membanjir diseka sambil memandang gunung nun jauh. Di puncak, hijau menyatu dengan biru langit, kelihatan  sejuk. Lalu belang  dibadannya, tempat lalu-lalang semua kendaraan, berjalan seiring mendakinya roda-roda, menyerupai lilitan seekor boa  Basuki berbicara  sendiri, sayang orang-orang melewatkan. Tapi ah! Itu urusan mereka, mengapa  memusingkan? Tiba-tiba …

            “Copak!”

            Basuki menoleh.  Dilihatnya Sumi tertawa lebar sambil terus menjaga keseimbangan diatas pematang.  Sumi menggoda dengan lemparan tanah,

            “Kang, istirahat dulu, ini aku bawakan masakan kesukaanmu!” Sumi meletakkan bakul yang digendong. Ia menghela nafas,

            “Huf! sampai juga! Kang, Sumi tadi takut banget lewat pematang yang itu, masih lembek.”

            “Bersyukurlah kamu nggak terpeleset. Nenek mana?”  Basuki duduk disamping Sumi. Ragu menyelimuti setelah berani mulai datang, … kamu cantik, Sum! batin itu yang ia susun.  Rasa-rasa yang terasa  …

            “Tahu nggak ikut kok ditanyakan,” Sumi masih sibuk menyiapkan makan. Sambil menyuguhi  senyuman.

            “Iya. Pergi kemana?”

            “Di rumah. Katanya pinggangnya sakit. Jadinya aku yang nganterin ‘kiriman.’ Kirain kang Bas pulang. Jadi ya … agak terlambat.”

            “Rencana sih gitu. Berhubung harus ke festival ... Jadi nyangkulnya aku selesaikan sekarang.  Tanggung!”

            Sumi angguk-angguk,

            “Di makan kang, nanti keburu dingin,” katanya sambil melepas caping.

            “Kamu udah makan,”

            “Udah, habiskan saja ikannya. Di rumah masih banyak. Itu kusus untuk kang Bas.”

            Basuki tersenyum, rasa itu makin ada.

            Angin berhembus disela tegaknya matahari. Teriknya membakar seluruh permukaan sawah. Air yang jadi penghalang, menguap membentuk fatamorgana. Dan semua mata  memandangpun mengernyit untuk mendapatkan amannya cahaya pandang

Basuki menghela. Ditengah  makan, hatinya bergejolak, akankah rasa itu ditumpah sekarang? Saat terik membakar? Saat rambut Sumi tergerai? Saat dikupingnya terselip bunga tapak dara, putih keorenan? Saat Sumi tersenyum manis? … tidak! Basuki menentang keinginan itu dengan akal sehatnya, kalau ia tidak akan bertindak bodoh! Kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyatakan cinta.

Tapi sampai kapan?

Empat tahun, bukan waktu yang pendek untuk menyimpan sebuah rasa. Umpama harus berdusta pada orang lain, itu gampang dilakukan tapi untuk berdusta pada diri sendiri? Basuki yakin tidak akan bisa.

Ya, sejak Sumi menemani kakek Karso, Basuki telah menaruh hati. Meski Basuki tahu kalau Sumi baru kelas lima SD. Itulah rasa indah yang diberikan Gusti, kalau ia harus jatuh cinta pada Sumi. Gadis kecil yang saat itu belum kedatangan bulan. Lalu Basuki menyimpan dengan sangat baik. Hingga tadi,  masih rapat ia simpan.

Tapi sekarang?

“Kok sedikit sekali makan-nya?” Sumi menuangkan minum.

Basuki ragu, tepat tidakkah  saat ini untuk menyatakan cinta? Pada orang yang telah menjadi bagian keluarga? Basuki nggak ingin kalau ia membantu menggarap sawah kakek Karso  dituduhkan sebagai alasan untuk mendapat perhatian Sumi. Tidak seperti itu. Basuki membantu karena panggilan hati. Kakek Karso sudah lanjut usia, tidak kuat lagi untuk menggarap sawah.

“Kang Bas kok banyak diamnya. Nggak denger pertanyaan Sumi, ya?”

“Ma’af  Sum, akhir-akhir ini aku memang seperti ini.” Basuki meneruskan makan,

“Ada sesuatu yang mengganggu pikiran,” Basuki meneguk air,

“Aku bingung harus bagaimana.”

“Ceritalah padaku, mukin Sumi bisa membantu.”

“Seharusnya begitu. Tapi aku takut justru akan menyusahkan kamu.”

“Ya nggak tahu. Kang Bas  kan belum cerita.”

Rambut Sumi berkibar setelah diterjang angin, menyebar wewangian  pagi tadi, menggetarkan hati yang telah jatuh cinta. Lalu menyodok keberanian untuk segera mengatakan.

“Kang Bas mikir cewek, ya? Kalau gitu …,” Sumi memainkan ujung mata.  Sangat manja. Dan itu yang disuka Basuki.

“Kamu tahu?”

“Kata orang-orang sih …”

Anak rambut jadi permainan berikut. Jerujung jemari dikitek berpindah pada kuku-kuku, sementara kaki bermain air hingga membentuk gelang-gelang. Dari kecil, membesar dan makin besar lalu hilang membentur pematang. Lagi, lagi, lagi dan lagi selama kaki digerakkan,  gelang-gelang itu selalu muncul.

“Kata orang bagaimana?”

“Katanya … ya begitulah. Ah malu! Sumi kan masih kecil? Belum boleh membicarakan yang begituan.” Dan Sumi anjlok, mencampuri tanah-tanah yang dicangkul,

“Cepat makannya! Sumi mau pulang, tadi dipesen ama nenek nggak boleh lama-lama. Sumi disuruh nganterin ikan ke Lek Sardi …,”

“Awas ular!!”

Serentak Sumi menoleh kearah Basuki menunjuk ular. Berhamburlah barang yang dikemas. Wajah Sumi pucat. Buru-buru Sumi naik ke gubug sambil melihat dimana ular. Eh .. ternyata Basuki hanya terkekeh. Sumi sadar kalau Basuki hanya menggoda. Sumi bersungut-sungut. Hati perempuan yang mudah patah, dari tulang rusuk itu,  patah sudah.

“Kamu jahat!” Sumi  pergi tanpa sebuah perabot, meninggalkan Basuki setelah hatinya tidak bisa di tata.

Basuki tersadar kalau candaan tadi telah melukai Sumi. Segera ia menarik tawa dan mengejar Sumi setelah memunguti perabot,

“Sumi! tunggu Sum! Ma’afkan kakang tadi.”

Sumi membisu dan terus bejalan diatas pematang. … megapa ia dapat sedemikian tersinggung? Pada kang Bas yang telah dianggap  kakak sendiri? Atau karena tadi malam setelah Bayu mengurungkan janji?

“Sum!” Basuki menahan tangan Sumi yang hendak pergi,

“Sum …, ma’afkan kakang, ya? Kakang telah berbuat salah,” katanya menyakinkan kalau dia benar-benar menyesal. Sumi diam dan menunduk … mungkin kalau bukan kang Bas, … setidaknya Sumi akan maki-maki  … Kang Bas sangat sayang pada Sumi.  Sumi tahu karena Sumi merasakannya.   

Sumi duduk tanpa peduli  kulotnya akan berlepot lumpur. Ia menunggu …

“Sum,” Basuki ikut duduk. Kali ini disengaja agak dekat,  pundak mereka bergayut,

“Boleh kakang berbicara sesuatu tentang kamu?”

Sekarang! Pikir Basuki. Ya, sekaranglah saatnya! Rasa yang terpendam selama empat tahun akan dipecah sekarang. Kalau Sumi mau marah, biar marah sekalian. Basuki nggak peduli.

Sumi jadi bingung, marahnya hilang tiba-tiba berganti heran yang sangat,

“Maksud kakang?”

Basuki mendesah, diambilnya tanah basah dan dilempar jauh ketengah,

“Aku sayang kamu.”

Serentak merah wajahnya, walaupun ia sudah menduga. Tapi baginya Basuki adalah kakak. Ataukah sikap baik, sayang, dan perhatian Sumi selama ini  diartikan lain oleh Basuki? Ah! … Sumi takut untuk memikir sejauh itu.

“Sejak kamu datang di rumah kakek Karso aku telah jatuh cinta padamu. Pikirku, waktu itu kamu masih terlalu kecil untuk mendengar pernyataan ini.”

Sumi menunduk tak tahu harus bagaimana.

“Kakang nggak peduli, kamu menerima atau tidak. Karena itu adalah hakmu. Aku akan selalu menyayangmu. Tapi besar harapku  …  kamu menerima pernyataan ini,”

Basuki menarik nafas,

“Sekarang, aku yakin kalau kamu bisa memahami.”

Sumi memandang hampa. Kalau saja kang Bas menanyakan hal lain, tentu dengan senang hati Sumi akan segera menjawab, membantu, atau apa  saja agar beban kang Bas  menjadi ringan. Atau orang lain yang menyatakan sayang … tentu akan ditolak mentah-mentah.  Ini kang Bas …. orang yang selama ini menyayang. Karena Sumi selalu mengharap sayangnya … tapi bukan sebagai kekasih! Tapi sayang seorang kakak terhadap adiknya! Ya! karena di hati Sumi telah ada Bayu.

“Ma’afkan Sumi, kang. Sumi masih kecil.”

“Aku akan menunggu Sum. Sampai kamu siap … ”

“Bu - bukan itu masalahnya kang …,” Sumi ragu  menjelaskan. Takut akan menyakiti hati kang Bas. Sumi menunduk lagi. Diusapnya air mata yang menetes.

Dan ketakutan dirasa Basuki. Ya … takut cintanya  bertepuk sebelah tangan, takut hatinya akan  patah, karena tidak mungkin ‘regijigan’ dalam urusan perempuan. Takut kalau Sumi telah punya pacar,

“Kamu sudah punya pacar?”

Sumi tersenyum, mengangguk,

Anggukan itu telah membuat sebuah hati patah. Tapi Basuki sadar tentang hak penolakan itu. Hak setiap insan untuk menjawab dari sebuah pernyataan cinta. Sama seperti hak mencinta.  … semua harus saling memahami dan menghormati.

“Sumi mencoba untuk setia, kang,”

“Itu bagus. Seharusnya memang demikian,” kata Basuki mengambang, jelas kecewa.

“Kakang jangan kecewa, ya? kalau Sumi punya pacar?”

“Ya. Kakang akan berusaha,”

Langit berselimut mendung.

“Kamu harus jaga diri. Kamu perempuan.”

“Ya kang. Sumi tahu itu.”

Bluwok putih terbang melintas. Menjadi manik-manik dibawah mendung. Cukup lama. Lalu hilang di balik bukit.

“Sekali lagi, ma’afkan Sumi. Bukan Sumi tidak sayang …,”

“Aku tahu. … sudahlah! Biar ini menjadi masa laluku…,”

“Kita pulang?”

“Ya, kang.” Dan mata Sumi  menangis.

Andai Kang Bas tidak menyatakan cinta atau pernyataan tadi disampaikan sebelum prasetya Bayu tentu Sumi  dengan senang hati akan menerima. Karena Sumipun suka pada kang Bas. Tapi  kenyataan ini memaksa Sumi untuk menangis, terharu, bahagia dan berbagai rasa   bergulat dalam hati. Tapi bagaimanapun rasanya  Sumi harus memilih. Dan rasa itu ….,

Memaksa Sumi untuk memilih setia.

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar