SAYANG TLAH PERGI

Pelayanan 07 Desember 2015 20:45:38 WIB

Hari ini, Kamis, tanggal 12-12-13, aku meluncur di JJLS yang belum sempurna. Sebagian sudah bestandar nasional sebagian belum. Yang membentuk sambungan lebar dan sempit. Beberapa kendaraan berat yang lewat tidak berani melaju  kencang karena hujan mulai datang. Aku berpapasan dengan beberapa bus pariwisata yang pulang dari Pantai Baron.

Huhf……….! Minggu ini JJLS sangat padat.

Beberapa motor kulampaui untuk cepat-cepat tiba di SMK Tanjungsari tempat aku ngajar pencak silat … senyum Panji membayangi! ….Ya Allah. Untung tadi nggak ngajak Restu . Gimana aku  jaga dia kalau sekarang hatiku begitu trenyuh ….. teringat perjuangan Panji …..  sejak kelas dua SMP … Panji sudah mengajar Pencak Silat ASAD di Padepokan TROWONO, melaui jalan ini!

 Panji yang baru berumur  lima belas tahun telah bercita-cita besar. Ini aku baca di Diary Panji yang kutemukan di tengah net booknya. Setelah beberapa prestasi yang diraih, seperti juara tiga katagori TGR SD tingkat Kab. Gunungkidul, juara dua katagori TGR SMP tingkat kabupaten dan Juara dua Kejuaraan Remaja Persinas ASAD Pengda DIY, Panji ingin menjadi wasit pencak silat  nasional. Setidaknya sampai  tingkat provinsi untuk megangkat nama PERSINAS ASAD di DIY. Hal yang sudah dipersiapkan antara lain, belajar jurus tunggal baku dengan rincian geraknya, dengan cara melatih teman seusia Panji. Berusaha menghafal jurus regu, latihan tanding, belajar kategori ganda dan sering nonton pertandingan pencak silat. Pertandingan Invitasi Mahasisiwa Nasional bulan Juni  2013 lalu juga ditonton sambil mempelajari berbagai gaya seorang wasit.

Buku-buku peraturan pertandingan, penjurian, perwasitan, kepelatihan menjadi koleksi yang sangat digemari.

 Untuk biaya, Panji sudah mempersiapkan jauh-jauh hari.  Memelihara kambing menjadi pilihan sejak kelas lima SD. Dari seekor kambing betina .. Panji sudah bisa kurban sendiri , beli net book dan print seharga empat juta yang berpatungan dengan Akyun dan Mak Ni. Dari penjualan kambing seharga Rp. 1.700.000,- dan dari uang tabungan Akyun sebesar Rp. 1.300.000,-  kemudian ditambahi uang mamaknya  Rp. 1.000.000,- Sampai Panji meninggal ... jumlah kambingnya masih lima ekor.

‘Duh … le ! hujan seperti ini Restu kau selipkan di bawah kakimu agar  tidak basah, kamu ngajar pencak silat sambil momong! ….Panji, aku bangga padamu! Aku sangat bersyukur dikarunia anak seperti kamu. Dengan kondisi sakit yang tidak pernah diduga. Karena ternyata kanker yang menggerogotimu telah menyerang semua rusukmu yang tidak mungkin diamputasi. Tulangmu bagai ayam potong yang di presto,  kamu  masih beramal solih gotongan kayu di Alas Gedor milik nenek … untuk  sodakoh pembangunan masjid ... Bagi anak seusimu, itu sungguh luar biasa!’

Dengan keangkuan seorang ayah… aku bersikeras membawa Panji pulang dari rumah sakit Nur Hidayah dalam kondisi Oestero Sarcoma stadium lanjut. Sementara Mak Ni bersikukuh melanjutkan rujukan karena memang kelas rumah sakit ini tidak diperkenankan menangani penyakit Panji. Kami dibingungkan dengan dua pendapat yang berbeda … Tapi justru aku menyerahkan pilihan pada Panji. …. Kejam memang. Dalam kondisi terengah-engah karena penyebaran penyakitnya sudah sampai paru- paru aku meminta pendapat Panji … untuk pulang atau melanjutkan rujukan. … Panjipun bingung di tengah kebingunganku.

Namun diluar dugaan Panji justru menanyakan bagaimana dia sholat dan menjaga kesucian seandainya kembali opnam di rumah sakit,

            “Pak, gimana sholat saya nanti kalau di rumah sakit?”                                                   

            “…..ya seperti di rumah sakit lainnya, untuk menjaga kesucian sangat sulit. Berbeda kalau dirumah. Sewaktu-waktu kena najis bisa segera disucikan.”                                                     

           “ Tapi kalau aku dirumah …. Tidak pakai oksigen? Aku tidak kuat …,” jelas Panji terengah-engah seperti tadi malam ketika berjuang mengirup udara dengan  paru sesak dan terbatasnya persediaan oksigen.   

            “Kalau kamu di rumah, bapak sanggup mencarikan  tabung oksigen yang besar. Sekarang Lek Maryono sudah mengisikan  tabung yang kecil,”                         

           “Sekarang  gimana, le?”                                                                                                       

Panji masih terengah-engah. Pengasapan yang dilakukan dokter tadi tidak berarti  banyak. Kondisi paru-parunya…..bahkan dahaknya sudah mulai memerah.                                              

          “Aku kan, anakmu, to pak? Aku manut bapak dan mamak. …. Tapi kalau bapak dan mamak binggung? Aku juga bingung,”                  

Aku terharu melihat keterbataan Panji melawan sakitnya. “Sementara aku sudah termotifasi dengan omongan bapak. Dari pada  untuk kemo aku memilih biaya itu disodakohkan ke pembangunan masjid. Seandainya nanti aku mati … aku punya amal jariyah yang mengalir.  …. aku  memilih kemo kepada Allah.”    

         “Justru itu, le,” potongku sambil memegang jemarinya. Mataku mulai memerah …      

 Kutatap Mak Ni semakin berkaca-kaca. Sementara Lek Tinah yang sejak tadi  tegar mulai menitikkan air mata,                            

         “Bapak menghendaki pulang, sementara mamak meneruskan rujukan. Kami berbeda pendapat padahal bapak dan mamak memikirkan orang yang sama, kamu!  Makanya bapak minta pendapatmu…,”                                                             

        “Aku bingung, dong pak?”                                                                                     

        “Kalau aku berbeda pendapat dengan mamak? ….aku dosa enggak?”                                           

        “Le,…. Ini musyawarah. Kamu tidak harus sama dengan mamak. Artinya kalau pendapatmu tidak sama dengan mamak itu kamu tidak dosa. …. Karena ini rembugan, le.”            

         “Aku masih bingung, pak?”         

         “Aku nurut kalian saja.”                                                                                                             

         “Itulah le, masalahnya. Bapak ingin membawamu pulang sementara mamak terus ke RS Sardjito,” jelasmu  bingung….                                                            

       Aku terus mengulur waktu walau suster sudah beberapa kali memanggil karena kamar di RS  Sadjito yang dirujuk telah dipersiapkan,                                                                                     

      “Begini, le….Sekarang kamu berdoa lima menit pada Allah untuk memohon ilham. Mak Ni juga. Nanti kita padukan.”                                                                                                            

       Kulihat Mak Ni setuju. Panji juga. Dan gemuruh pasien lain yang datang mencampuri kekusyukan yang ada. ….  Ya .. Allah, beri yang terbaik untuk kami. Perlihatkan mukjizatmu untuk kesembuhan Panji tanpa menjalani kemo terapi. Semua berasal dariMU dan kuserahkan semuanya padaMU …..,                                                                                         

       “Gimana, le?”                                                                                                         

        Panji diam.    “Mak Ni?” Mak Ni hanya menghela nafas.       

        “Panji?” kataku mengulang.

Dalam ketegaran seorang Muhammad Panji Pamulang, dengan gagah Panji menjawab      ….. pulang! Jawaban yang di luar dugaan. Sebab minggu lalu Panji minta dikemo ….. dan aku sudah membawanya sampai di RS Bethesda tapi bangsal dan  kamar kemo ternyata kosong untuk 3-4 hari mendatang. Sementara Mak Ni  hanya menghela nafas panjang. Kelihatan tidak setuju dengan keputusan Panji.

            “Mak Ni?”            

           “Kita usaha yang terbaik!”         

           “Kita usaha yang terbaik itu ….. di rumah bisa?” tanyaku balik pada Mak Ni.               

           “ …. Bisa,” jawab Mak Ni berat.                       

           “Berarti kita pulang!” tegasku karena sebuah keyakinan akan pertolongan yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beriman. Orang-orang yang mau berdoa kepadaNYA

           Sabtu pagi, 14 September 2013

            Aku merasa  payah dengan apa yang diujikankan Allah…..aku …..  dan aku melihat raga Panji sudah lelah menahan sakit. Sementara bebayunya tak kuasa menahan rasa, sebagian tubuh Panji telah mati. Panji hanya  tidur. Mak Ni di pojok joglo sebelah selatan kudekati. Kupeluk dia untuk memberi semangat, karena apa yang akan aku katakan nanti,

            “Mak Ni,” kataku setelah melepasnya,

            “Menurut firasatku … dan ini pengalaman kita ketika ngramut simbok di Jakarta,” aku menghela nafas,

            “Waktu itu simbok minta pulang …. Itu bermakna dua. Simbok minta pulang ke rumah berarti simbok sembuh  atau simbok minta ‘pulang’ berarti simbok meninggal  . Akhirnya simbok meninggal di Jakarta … Lalu ketika kita menjenguk  Mas Gangsar di Bethesda, dia juga minta pulang. Namun keluarganya  kurang nggraito …. Maunya jika pulang sudah sembuh. ….. Akhirnya Mas Gangsar meninggal di rumah sakit,”

            Mak Ni menangis, sudah menduga apa yang akan kukatakan,

            “Kemarin …..Panji kita bawa ke rumah sakit, Panji minta pulang padahal seminggu yang lalu Panji minta dikemo. Kita akan menuruti permintaan Panji tetapi Panji memilih pulang. Menurutku ini bermakna dua. Kalau Panji akan sembuh maka cepat sembuh tetapi jika Panji akan dipanggil juga akan cepat. … Mak Ni, kamu harus siap,”

            “Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap … menurutku Panji harus diberi tahu. Aku lebih senang Panji siap mati dari  pada siap sembuh …. mumpung masih ada waktu  untuk Panji.”

            “Ya, pak,” jawab Mak Ni berat.

             Kembali kupeluk Mak Ni seolah kami telah kehilangan Panji.. Lalu mendekat ke dipan Panji yang ada di dekat soko guru  …

            “Le …,” tumpah air mataku.

            Hampir sepuluh menit  aku menangis karena sedih dan syukur,… sedih karena Panji sakit dan syukur …. Walaupun Panji menderika  kanker tulang sedemikian parah  dia tetep PD, tetap semangat ibadah,  pantang menyerah.

 Panji tetap manja!

            “Le, suka atau tidak  suka, hal ini harus bapak omongkan ke kamu …. Ketika kamu minta pulang, menurut pengalaman bapak itu artinya dua. Kalau tidak mari yo mati..”

            “Ya pak,” jawabnya enteng. Tidak ada beban sedikitpun di raut itu.

            “Kamu harus selalu berdoa dan yakin sembuh, tetapi kamu juga siap mati…ya   le?”

            “Panji siap, pak.”

            Ada perasaan lega ….

            “Alhamdulillah! … itu lho le kelebihanmu … kalau nenek dulu begitu bangun tidur langsung dzikir, istigfar ….” Aku memberi isarat dengan menekuk jari, menirukan neneknya dulu,

            “Sementara kamu tidak le. Matamu tetap jelalatan. Tetapi Allah memberi kekuatan dan kesabaran atas penyakitmu. …. Ada orang yang diberi derajat surga tinggi tetapi pengamalannya tidak cukup untuk derajat  itu. Sehingga  … Allah memberi sakit, tapi Allah juga memberi kesabaran sampai derajat surganya tercapai,”   jelasku memberi semangat,

            “Semoga salah satu orang itu …. kamu le.”

            “Pak, mamak … apa aku ini anak yang soleh?”

            Mak Ni menagis.

            “Ya. Bapak dan mamak menyaksikan kalau kamu anak yang soleh,” kata Mak Ni,

            “Mamak betul-betul bersyukur di karunia anak kamu,” Mak Ni memeluk kepala Panji  …..

 

 Di saat terakhirnya Panji sempat menayakan  kalau orang  mati itu masih punya dosa. Aku jawab … ya orang itu akan disiksa dulu didalam neraka sampai dosanya habis dan baru akan dimasukkan kedalam surga. 

Panji menyatakan taubat setelahnya.

            Duh le, semoga itu menjadi jalanmu. Kalau diberi kesembuhan semoga cepat dan kalau akan dipanggil juga cepat. Kamu  harus yakin sembuh tetapi kamu juga harus siap mati. Panji Siap … dan .. Alhamdulillah Panji meninggal dalam keadaan khusnul kotimah.

             Sesaat setelah Panji meninggal, …..Mak Ni meminta semua saudara untuk mencium Panji. Dengan  syarat, tanpa tangis dan tanpa air mata, sebagai wujud rasa sayang seluruh keluarga untuk yang terakhir kali. Mak Ni mencium kening Panji, kemudian aku … , lalu  Akyun, terus Intan dan semua  saudara yang menyayangi Panji. Mak Ni menatap sejenak sebelum melepas kepergiannya … dan Klik! Wajah terakhir Panji terabadikan di HP mbak Eli. 

Lalu … aku sungguh kehilangan Panji.

 

 

 

 

 

 

 

 

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar