GERHANA HATI
Pelayanan 07 Desember 2015 20:33:26 WIB
Ah! Mengapa harus cemburu melihat kemesraan itu? Pada pasangan ideal Handy dan Ahsani? Padahal jelas, kini aku bukan apa-apanya Handy. Ataukah ini tanda aku masih mengharap Handy? Brengsek! Tangan Ahsani bergayut mesra di pinggang Handy. Sangat disengaja. Tadi mereka melihat aku.
Lampu merah depan Pemda pagi ini menambah panas suasana.
Begitu lampu hijau, kugenjot pedal gas kasar-kasar. Persetan dengan beribu pasang mata yang tidak suka dengan cara nyetirku. Aku tidak ingin melihat kemesraan itu lebih lama. Perih!
Semester lalu Handy memang pacarku. Pacar tomboy SMA I Wonosari. Sekarang tidak lagi. Minggu ini Handy sangat yakin melangkah disisi Ahsani, gadis berdarah biru , gadis dengan beribu kelembutan dan pesona.
Dan … rasa bersalah menyeruak diantara gerhana hati, mengapa harus berpaling hanya karena tidak mendapat sun di ulang tahun ke lima belas? Aah! Itu telah lalu. Menangis siang malampun tidak akan mengembalikan hati yang telah damai. Aku harus tegar! Setegar kangkang kaki ketika putuskan untuk berpisah. Tanpa sesal, tanpa air mata. Bahkan penuh kesombogan! Biar semua berlalu, menjadi bagian keping hati yang pernah mencintai. Cemburu ini akan aku jadikan pijakan untuk mencintai cowok lain.
Beberapa detik saja telah kubanting setir masuk gerbang sekolah SMA I Wonosari. Di Pos Satpam Evi men da-da. Aku membalas dengan senyum kecut. Dan … ufh! Pasangan ideal telah berada dibelakangku. Rasa nyeri ini masih ada. Padahal tadi kubuang jauh-jauh.
“Hai?” Handy berdiri disamping kijang merah. Setelah memarkir skuter, menyapa dengan polah khasnya. Yang beberapa bulan lalu aku sangat suka.
“Hai. Ahsanimu?” kataku sambil merebahkan tubuh, malas untuk membuka pintu.
“Duluan. Ada PR yang belum selesai.”
Sungguh mati, aku benci dengan senyum memikat itu!
“Sebaiknya kamu temani dia,” kuambil tas disamping,
“Aku juga ada PR.”
“Pengusirankah ini?” Handy menahan pintu.
Han? Aku memaksa membuka meski Handy menahan,
“Cewek gampang cemburu Han!” Lalu kutekan handle kaca karena pintu tidak berhasil kubuka.
Handy cuma menekuk buku dan meletakan dibibir kaca. Aku berhenti nenekan handle. Tak mungkin kaca kututup kalau diganjel buku setebal itu. Kuturunkan perlahan,
“Kamu tidak ingin gadismu sakit hati, kan?”
“Ya.” Ah! Bisa juga Handy berlagak cuek.
“Silahkan. Asal tahu saja ini di sekolah,” lanjutku.
Kutelah oval ganteng itu. Dan mata elangnya sangat menghujam jantung, memporakporandakan sifat tomboyku. Menyadarkan kalau aku masih rindu. Dan diam ini menjadi siksa bagiku. Betapa aku menjerit menyesali keputusanku. … tapi dia telah berada disamping Ahsani. Tidak mungkin aku merebutnya. Semua orang tentu tidak tega menyakiti lembut hati Ahsani.
Buru-buru aku keluar dari pintu sebelah sambil menyembunyikan tangis dari matanya.
…
Kubuka toilet setelah tidak membekas tangis. Aku ingin menjadi Lala, gadis tomboy yang cuek dengan hal-hal romantis. Aku akan melupakan Handy. Setelah kenyataan tadi kututup hati untuk semua cowok, untuk Handy sekalipun!
Aku membuka pintu ..
“Kau..?!” kutarik secepat mungkin terkejut …,
“Mau kencing? Di sana KM untuk pria,” kataku sambil menujuk KM diseberang kelas.
“Tidak.”
Dan Handy menatap lekat. Berhasil memaksa dan membangkitkan rindu,
“Lalu?” kataku ketus. Sambil menata hati untuk tidak mengakui apa yang sebenarnya kurasa.
“Mengapa kamu menangis?”
“Apa urusanmu kalau aku menangis?”
Handy mendesah,
“Aku minta maaf atas kejadian tadi.”
Benteng yang baru aku bangun runtuh sudah … kata maaf itu. Sifat yang tidak dapat aku lupakan. Handy selalu mengalah. Dan selalu punya kelonggaran hati untuk meminta maaf meskipun dia tidak salah.
“Kamu tidak perlu minta maaf. Aku punya mata. Kapanpun aku mau menangis … itu terserah aku,” kataku agak melunak. Dan kini hatiku benar-benar menangisi putusan dulu.
“Tapi kenapa kamu lari?”
Aku? Oh … Handy, haruskah aku mengatakan kalau aku masih mendambakanmu? Haruskah kubuat cemburu Ahsani? Sedangkan aku yang menginginkan putusnya hubungan kita?
“Begitu bencikah kamu padaku?”
Handy!
Kalau kamu ingin melihat tangis, lihatlah sekarang Han .. aku telah menangis. Dan …kubiarkan air mata jatuh. Kubiarkan Handy terheran-heran. Kubiarkan ada getar merambat diantara penyesalan. Biar …
Tapi … Lala mulai yakin kalau Lala masih mencintanya. Lala cemburu melihat kemesraan tadi. Lala berharap Handy masih menyisakan sepetak tempat untuk menerima kembali …. untuk memekarkan rindu Lala,
“Ya,” dustaku. Dan … hati ini makin deras menagis.
Handy mendesah lagi. Terlihat jelas guratan sedih diwajahnya.
“Kamu telah menemukan cowok lain?”
Han!
Kumohon, Han… jangan pinta aku untuk menangis lagi. Pertanyaanmu sungguh menyakiti hati.
“Baiklah. Sekali lagi aku minta maaf. La, kita pernah bersama. Saling mengenal … aku terima kamu memutus cinta. Kamu tidak suka padaku .. atau apa. Tapi kenapa kita tidak dapat bersahabat? Sedangkan kita sudah saling kenal? Kita membutuhkannya?”
“Han, kumohon …pergilah.”
Handy menatap nanar, memohon pengertian. Tapi hati kerasku terlanjur angkuh untuk mengakui kalau aku masih merindukannya.
“Aku tidak pernah membencimu La. Setidaknya sebagai Handy sahabat Lala.”
Oh, maafkan aku Han, benar katamu dulu, kalau aku suka menipu diri sendiri hanya karena gengsi. … kubuka toilet dibelakangku untuk mengusir Handy.
Lalu kutumpah habis tangis dari mata, untuk Handy cintaku.
Bel telah berdentang enam belas menit lalu. Sekolah telah sepi. Tinggal pak Bon yang setia menutup pintu dan jendela. Atau menyapu kotornya kelas. Menggumpalkan debu kiriman dari Gunung Kelud yang kata orang bisa bikin sesak nafas. Pak Bon menutupi wajah dengan masker standar, berusaha menghindari sakit perut dan batuk.
Seandainya perut sedikit kompromi dengan lapar, aku betah berlama-lama disini. Merenungi diri, perjalanan cinta. Mulai dari pertama jatuh hati pada Handy, jalan bersama atau sombong hati untuk memutus Handy. .. cemburu pagi tadi, tangisku … semuanya! Kukenang … meski pada akhirnya terasa nyeri.
Han, kamu sangat serasi dengan Ahsani. Meski masih mengharapmu, aku tidak ingin mengusik cinta kalian. Biarlah Lala sendiri. Jangan pedulikan Lala sebab Lala yang menghendaki putusnya hubungan kita. Lala telah nyuekin kamu.
“La?!” sentilan di gendang telinga mengusir gemuruh yang ada. Ahsani … mau apa dia?
Aku mendesah dan menata diri untuk menjadi tomboy,
“Sendiri?”
“Ya,” katanya datar. Ia duduk.
“Handymu? Kenapa kamu belum pulang?”
Jangankan cowok seperti Handy, aku sekaumnya saja merasa damai disuguhi senyum itu. Tak terbayangkan.
“Handy duluan.”
“Kamu cemburu?” pancingku. Tadi pagi Ahsani melihat Handy menghampiriku.
“Tidak,” Ahsani menawarkan pagoda,
“Seharusnya kamu yang cemburu. ..Aku sangat dekat dengan Handy,” sambung Ahsani. Dan betul .. kemesraan di jalan tadi …
Aku mengerutkan kening. .. tak mungkin menghadapi Ahsani dengan cara tomboy. Ahasani terlalu lembut untuk menerima perlakuan itu,
“Mengapa aku harus cemburu? Aku bukan apa-apanya!”
“Aku yakin kamu hasih mencintai Handy. Cemburu itu, kamu tidak dapat menyembunyikannya dariku. Kamu saja yang angkuh,” Ahsani membuka tas,
“Diary ini buktinya.”
Oh! Hatiku terbelalak karena sebuah kecerobohan dan …
“Kamu telah mengenal Handy. Temui dia secepatnya sebelum dia menjatuhkan pilihan untuk gadis lain.”
Aku terbengong.
Lalu apa arti kemesraan mereka? Keakraban selama ini? Dan Ahsani?
“Kami hanya sahabat,” Ahsani mengambil pagoda,
“Itu kalau kamu percaya padaku.”
Lalu aku tertegun ...
“Handy cerita banyak tentangmu. Dia mengharapmu untuk kembali.”
“Lalu … kamu?”
“Aku bukan pacarnya!”
Bukan pacar?
“Kemesraan tidak harus dengan sun-kan?”
Oh! Aku malu.
Ahsani tersenyum. Dan .. aku merasa kecil dibuatnya. Darah birunya tercermin disetiap tutur dan gerak, begitu lembut. Melunakkan semua keangkuhan.
“Maaf La, cobalah untuk menyelami dalamnya hati orang. Agar kamu bisa menerima hati itu dengan apa adanya. Agar kamu bisa bersyukur …”
Aku menunduk dan siluet wajah terpantul dimengkilapnya bangku.
“La, Handy tidak mau nge-sun kamu sebab dia tidak mau mengotori cintanya. Handy sangat mengagungkanmu. Tapi kamu salah sangka!”
Oh…!
“Kamu tidak perlu malu untuk kembali padanya.” Ahsani tersenyum,
“Aku duluan, La.”
Kulirik jam. Sudah pukul dua!
“Ya. Trims,” dan kupaksa bibir ini untuk tersenyum. Mengantar berlalunya Ahsani.
Handyyyy ….!
Dengan ragu aku menekan bel. Apapun yang akan terjadi nanti. Aku ingin Handy tahu kalau aku masih mengharapnya. Andai Handy telah menjatuhkan pilihan pada dewi lain, itu resikoku karena tidak segera menemui. Hampir dua bulan .. keangkuhan hati baru dapat kutaklukkan …
Daheman kecil dari belakang membuat terkejut, Handy!
“Sudah lama?”
“Belum,” aku merasa tidak punya nyali lagi. Tatapan redup itu membuat cemas. Tidak ada cinta dimatanya. Tidak seperti lima minggu lalu, penuh harap dariku. Ah!
“Kita duduk di teras?”
Aku tersenyum. Rinduku lenyap melihat sikapnya. Handy berubah …
“Lama kamu tidak kesini … dan sekarang kamu disini .. tentu ada hal penting.” Gayanya sangat acuh. Bah!
“Ya.” Aku bersumpah! meski rindu aku tidak akan mengemis cinta. Aku adalah Lala!
“Ada apa?”
Dan … tatapan dingin itu menghujam, menyingkap suasana dibalik hati. Tanpa cinta,
“Aku cuma ingin kesini saja.”
“Tidak diantar cowokmu?”
Han?! Kau ..?! Sungguh! ... sakit mendengarnya. Tapi aku sadar, Handy berhak menanyakan itu,
“Cowokku sudah tidak sayang aku …,” Dan kunikmati sakit hati ini.
“Dan kamu ditinggal begitu saja?”
“Tidak! … justru aku yang meninggalkannya. Sekarang, aku ingin kembali padanya,” Huh bisa juga keluar kata-kata itu.
Han, tidak mengertikah kalau yang kumaksud cowok itu kamu? Haruskah aku katakan aku ingin kembali padamu, Han, begitu? Sedangkan kamu telah mengerti isyarat cinta?
“Kalau cowok itu tidak mau menerima?”
Inikah penolakanmu, Han? Sedang lima minggu lalu petak untuk menyemai cinta masih ada?.
Aku menunduk, tangis hati makin keras. Dan kugigit kuat-kuat untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Keangkuhanku telah tersinggung, menutup betapa aku …,
“Aku harus terima kenyataan. Itu resikoku,”
Dan kucoba tegar, untuk tidak melihatkan air mata. Tangis hati ….
“La,” suara Handy melembut,
“Kutahu cowok itu adalah aku,” Handy bangkit bersama terkejutku, Dan harapku kembali ada. Ah! Mengapa aku sangat plin-plan?
“Ahsani telah mencerikatan semuanya. Termasuk diary itu.”
Kini aku menunggu vonis yang akan dijatuhkan, aku pasrah.
“Maaf La,”
Hati mulai gelap.
“Telah kujatuhkan hati untuk seorang gadis..”
Secepatnya aku meninggalkan Handy. Aku benci basa-basi. Aku tidak ingin mendengar pengakuannya! Handy, kamu jahat! Bergegas masuk mobil …
Belum sampai kustarter …
“Gadis itu bernama Lala!” teriak Handy. Sangat jelas terdengar ditelinga.
Oh! Aku … tersenyum dan menghambur memeluknya!
Thanks Han!
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Pengunjung |