Nurul Ayu Safitri

Pelayanan 07 Desember 2015 20:26:48 WIB

Menginjak terminal Giwangan sekitar jam sebelas, Suasana makin ramai, apalagi  mendekati ramadhan. Lalu lalang bus AKAP, AKDP sangat padat. Membuat siang makin panas. Matahari   tegak tidak menyurutkan langkah pencari rizki, penjaja, penjaga dan pemangku kebijakan dalam mengemban tugas. Semua tumpah ruah di terminal berlantai dua.

Jasa pengaman terminal masih seperti dulu, tetua-tetua lama. Hanya ketua sekarang dipercayakan pada orang PAS. Katanya sebagai simbul persaudaraan dan pemersatu. Mulai dari angkringan, becak motor, kaki lima, jasa angkut, angkot, travel, asongan semua setuju. Dan dari mbak Nah aku tahu kalau keamanan dan ketertiban terminal ini makin baik. Orang tidak takut lagi meninggalkan dagangan untuk sholat, karena semua pengguna terminal merasa senasib sepenanggungan.  Menjadi saudara. Terminal telah menjadi rumah besar dari keluarga besar. Barang atau tas yang tertinggal diamankan di pos dan diumumkan selama dua bulan, kalau tidak ada yang mengambil akan di serahkan kepada Pemerintah Desa setempat. Kalau dua bulan tidak diambil, selain uang, barang dilelang dan hasilnya  diserahkan kepada rumah ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan pemilik barang. Tetapi kalau tidak diketahui agama dan kepercayaan si pemilik akan diserahkan ke panti-panti.

Aku duduk dengan dua kancing baju  terbuka untuk meredam panas … tiba-tiba jantung terhenyak dan berdegup kencang ketika melihat sosok … yang ternyata bukan Nurul. Ah . .. Rul, tentunya sekarang kamu telah menjadi  bidan. Seandainya aku tahu kamu berada atau  tahu dimana rumahmu aku akan mencari  untuk mengucapkan beribu terima kasih. Dengan nasehat itu aku bisa membelokkan arah hidup, untuk kembali ke rel.

Ada satu hal  yang kamu sampaikan sangat membuat … katamu, siap atau tidak siap, suka atau tidak suka, karena apa, kapan dan dimana … kita akan mati  sementara mati datangnya sewaktu-waktu. Setelah mati ada pertanggungjawaban besar. Dan hal paling bijak adalah persiapan untuk kehidupan setelah mati ….

“Mas, semir mas?” bocah belia sebelas tahunan  duduk disampingku,  sangat lelah. Tapi orang yang ditawari cuma menggeleng,

“Kamu belum makan?” sahutku. Setelah ia tidak berhasil menyakinkan orang untuk dibuat klimis. Lalu tatapan kecewa karena aku hanya memakai sandal ban.

“Belum mas,” katanya menatap heran, nyengir.  Disandarkan tubuh  lelah pada tiang, sangat kecewa.

“Nih tolong belikan dua nasi bungkus ,”  aku ulurkan uang sepuluh ribuan,

“Cepat sana! Kamu bisa mati kelaparan nanti!” dan baru kusadari kalau suaraku lebih gaduh dari terminal. Ah biar,

“Cepat sana!”

Ada sesuatu yang ingin aku tumpahkan tapi pada siapa? Keluarga yang seharusnya dapat menampung galau menjauhi, bahkan simbok telah menjatuhkan laknat … dan itu telah terjadi. Kalau aku selalu terseok menjalani kehidupan ini. Semua bisnis yang kulakukan selalu gagal.  Saking putus asanya aku nekat melakukan perampokan di sebuah bank.  Hasilnya empat tahun penjara! … lalu aku bertemu kamu Rul.

Karena maut selalu mengancam, yang tidak mungkin lari darinya, bukan takut atas apa aku mati tapi pertanggungjawaban nanti, disebuah peradilan agung … dimana flash tentang diriku akan diputar….  dan tanpa pertobatan aku yakin kalau  tidak dapat lolos dariNya. Pasti  akan tervonis ‘mati’ …. dibakar dalam api hitam, tanpa pos tanpa akof.

Rul, setelah sekian lama, selalu saja kamu benar. Apapun yang akan kulakukan  harus dimulai dari mana  berasal. … simbok dan bapak,  dari sana aku berasal.  Setibannya di Giwangan ini adalah bukti  kesungguhan. Aku akan kembali, memulai hidup  seperti baru dilahirkan, semua akan aku lakoni dari nol. Besar harapku bapak simbok mau menerima. Anaknya yang nggandi, anak yang selalu menyakiti hati, anak yang ….

Kamu lembut, keibuan, meski usia waktu itu lebih muda dariku, tutur dan sikapmu sangat menunjukkan kalau kamu adalah samudra, setidaknya bagiku. Disaat orang lain bahkan keluargaku menjauh, justru kamu mendekat memberi bimbingan. Disaat orang menjambak rambut, kamu membelai galau dengan beribu kasih bak simbok yang membelai manja rambutku saat bayi. Dan aku rasakan betul.

“Sudahlah,,Di.” katanya  disuatu saat.” Orang punya kejelekan dan kebaikan, Kita tidak dapat menghindari. Pada keduanya, kita akan melakukan  silih berganti. Kalau kita berusaha dan yakin,  kita  bisa meninggalkan salah satunya. Yaitu kejelekan.  Semua tergantung niat dan usaha kita,”

“Mas! Mas!” sentuhan kecil di pundak membuyarkan lamunan,

“Ini nasi bungkusnya,” bocah itu meletakkan kresek yang dibawa.  Duduk. Aku mengambil satu. Bocah itu diam  memandang, sangat heran,

“Ayo! Kamu satu!”

Bocah itu hanya nyengir.

“Biar saja dengan mereka. Kita punya urusan sendiri.”

“Ya, mas.”

Angan kembali melayang. Melamunkanmu, Rul. Dimana aku harus mencari? Aku sangat rindu dengan  kelembutan itu.

“Mas.”

Aku menoleh.

“Kok sedih amat?”

Aku tersenyum janggal dan segera melempar bungkus nasi ke tong sampah,

“Apa aku kelihatan  sedih?”

“Iya,” jawabnya canggung,

“Makasih  mas. Sekarang saya sudah kenyang. Mau nglanjutin kerja.” bocah itu mengemasi barang lalu aku kembali sibuk … mencarimu!

Bus datang dari Surabaya. Penumpang berjejalan turun dan disambut para kondektur angkutan dalam kota. Ramai sekali seperti dulu. Tiba-tiba aku berharap kamu ada … lalu menumpahkan semua galau yang ada. Juga  rindu dengan cerita jenaka, kelakar atau singgungan nasehat yang selalu terselip disetiap tuturmu ….

Dan … kamu! Ya, kamu sungguh Nurul!

Bergegas aku menghampiri,

“Nurul?” aku ragu meski tidak banyak perubahan diwajah. Kamu sangat terkejut  … selanjutnya mengembang senyum,

“Hai … kamu?” kamu tidak melanjutkan kata, sibuk menerima tas dari kondektur. Dan kelegaan memenuhi hati setelah sejak tadi sepi,

“Kamu dari mana?”

“Panjang ceritanya,”  aku  langsung membantu mengangkat tas,

“Kita makan dulu?”

“Ya.”

Udara makin panas. menyapu seisi terminal bahkan  dunia. Menjadikan berjuta pasang tangan me-lap keringat yang menyembul ditengah harapan untuk turun hujan, atau mendung melintas untuk menutup terik.

Dan kamu masih seperti dulu, anggun seperti samudra.  Mengingatkan kalau wajahmulah  yang melatari segalanya berubah, … lima tahun silam, seorang pemuda desa yang sangat nggandi …. menjadi senang mengaji … tapi aku tidak berani mengingat lama. Biarlah itu menjadi lembar masa lalu. Sekarang, kamu ada  disampingku, kamu yang selama ini kurindu … meskipun  bukan siapa-siapa. Kamu Rul, bukan hanya seorang teman … kamu telah menginspirasi berubahan perilaku, cara hidup bahkan gaya hidup.

“Kamu masih sendiri?”

“Ya. Kamu?”

Aku menarik nafas,

“Seperti ini. Tidak banyak perubahan.”

Kamu tersenyum, “Kamu tidak jujur.” Lalu diam.  Mencari reaksi atas bicaramu. Aku hanya sedikit mengernyit.

“Aku melihat banyak perubahan dari dirimu. Dari pakaian misalnya.”

Oh itu.

“Aku yakin kalau kamu bukan Adi  lima tahun lalu. …  Adi yang suka mengganggu anak gadis orang.”  kamu tergelak,

“Kamu dari mana?” katamu setelah reda.

“Setelah nasehat itu, aku pergi untuk membuktikan kalau aku bisa berubah .. dari ugal-ugalan ke alim. Dari apatis ke paduli .. dari jelek ke baik. Dan sekarang aku ingin kembali ketengah keluarga. Tapi aku  ragu … apakah aku bisa diterima.”

“Diterima atau tidak sebaiknya kamu pulang. Bencinya orang tua tidak akan pernah mengalahkan cintanya kepada anak. Aku yakin kalau keluargamu bisa  menerima.”

“Kenapa kamu begitu yakin?”

“Karena mereka orang  tua kamu.”

“Tapi begitu banyak rasa sakit yang aku berikan pada mereka.”

“Di, seharusnya kamu  yang punya keyakinan untuk diterima. Bukan aku. Semua tergantung kamu. Semua terserah kamu. Kalau kamu yakin kamu bisa. Sebagaimana keyakinan untuk perubahan itu. Siapa yang mengira kalau kamu bisa berubah?”

Aku diam.

“Kamu sudah punya pacar?” katanya memecah rasa hening.

Kamu menggeleng. Tapi aku sangat ragu dengan gelengan itu. Aku melihat ketidak jujuran disana. Tapi aku tidak punya niat untuk mencampuri. Aku  cuma berpikir bodoh benar orang itu kalau tega menyakiti hatimu.

“Aku menunggumu …,” dan sesal terlontar seiring lepasnya ganjalan hati yang selama ini aku bawa. Kalau aku telah jatuh cinta pada kamu, ingin mengatakannya meskipun aku tahu betul kemungkinannya.  Kamu akan menolak.

“Maksud kamu?”

“Aku mencintaimu. Aku  jatuh cinta kepadamu sejak pandangan pertama …,”

Kamu hanya menatap sekilas lalu memandang keluar terminal,

“Kamu lupa dengan janjimu?”

“Tidak. Tapi salahkan kalau aku berharap demikian?”

“Tidak. Tapi akankah kita kotori persahabatan ini?”

“Maksud kamu?”

“Perasaan cinta itu, tidak jarang menghancurkan sebuah persahabatan. Aku mengannggapmu seperti saudara sendiri. Jangan paksa aku menyayangmu lebih dari  itu.”

Terpaksa aku menelan ludah, seetahun , dua, tiga, bahkan sampai lima tahun aku menyimpan sebuah rasa dan … ternyata harus hancur dalam beberapa detik. Aku mendesah dan mencoba untuk tidak kecewa, untuk tetap berjiwa besar.

Tiba tiba kulihat kesenduan muncul diwajah,

“Kamu pernah disakiti?”

“Kamu sudah punya pilihan?”

“Di, kumohon jangan paksa aku untuk berdusta. Rasanya sangat menyakitkan …”

Lalu ada tetesan air di mata setelah merasakan sayatan dihati. Ya! kamu sangat kesakitan dengan pertanyaanku tadi. Tapi apa pasalnya? … dan bahkan kamu telah menangis disampingku? Oh Rul, seandainya kamu mengijinkan, aku ingin merengkuh dan melerai tangismu, untuk …

“Di, aku pernah diperkosa,” katamu lirih tapi cukup jelas di telinga. Menjadikan seluruh tubuh membara. Aku marah! Bangsat mana yang telah melakukan itu!?  Tinjuku terbentuk sangat keras menahan amarah. Tapi aku sadar kalau ini di terminal. Dan sebagai pelampiasan aku mengenggam gelas es yang ada di depanku dan meremasnya. … seolah pada kepala orang itu …

“Prak!” tanganku menggigil …

Kurasa dingin di telapak tangan lalu sedetik kemudian kucium anyir darah. Aku merasa perih setelahnya. Kamu dan yang tahu peristiwa itu merasa ngeri, bahkan ada yang menutup mata dengan memekik tertahan.

“Kamu?!”

Nurul membayar dan  menarik  dari rumah makan. Aku meninggikan tangan kanan agar darah tidak banyak keluar sambil tetap menjaga agar tidak menimbulkan perhatian. Ransel lusuh teman perjalanan … tetap kujinjing dengan tangan kiri. Aku nurut.  Bak anak kecil  dijewer ibunya untuk mandi.

“Gila kamu, di!” ktamu sambil sibuk membersihkan dan membalut luka dengan peralatan yang ibeli di took obat itu.

“Nurul …,” kupakai tangan yang sedang dibalut untuk mengenggang jemarimu. Kunikmati keterkejutan itu. Kamu ingin melepasnya, tapi perasaanmu membiarkan. … kamu terlalu rapuh untuk tetap bertahan …

“Sakitku belum sembuh, Di.”

“Bagaimana akan sembuh kalau kamu tidak mengobatinya?”

“Aku .., “  kamu menarik tangan.

“Aku tidak tahu harus berobat kemana.”

“Aku siap menjadi doternya.”

“Aku takut. nanti salah obat.”

Kusambut senyum ragu  dengan sebuah keyakinan, kalau luka itu akan sembuh.

“Aku binggung di. Kamu begitu tiba-tiba.”

“Aku akan menunggu,”

“Sebaiknya jangan. Aku takut.”

“Takut?” kamu selesai membalut.

“Kamu menolak?”

“Entah.”

Kamu menghela nafas. Tenang menatap, lalu

“Maaf di, aku belum bisa ….”

“Rul …!”

Ah! Aku melengos .. bibir  merona … tapi kok menyakitkan untuk dipandang ..

“Di, ini pasti membuatmu kecewa… tapi ini yang harus aku katakana. Kalau sampai saat ini aku belum bisa menerima cinta seorang pria. Tidak terkecuali kamu.”

 

Bus-bus bertebaran menambah gemuruh hati yang kecewa … tapi hikmahnya … inilah awal pertobatanku. Aku tidak akan mundur meskipun akan banyak penolakan-penolakan. Ketulusanku, cintaku bahkan niat baikku.

 

 

 

Nunung menggeleng. Tapi aku sangat ragu dengan gelengan itu. Aku melihat ketidak jujuran disana. Tapi aku idak punya niat untuk mencampurinya. Aku Cuma berpikir bodoh benra orang iru kalau sampai menyakiti hati nunung.

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar